Rabu, 17 April 2013

SARJANA PSIKOLOGI, BISA APA??

Beberapa tahun yang lalu, ketika itu saya masih duduk di bangku SMA, saat itu dunia Psikologi adalah dunia asing dan baru menurut saya. Tapi anehnya, saya begitu tertarik dengan ilmu tentang perilaku manusia tersebut. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk kuliah di bidang psikologi. Sebuah pilihan yang anomali/nggak normal, katanya teman-teman penasaran waktu itu. heuheuheu..  Saat itu pun saya sama sekali tidak mempertimbangkan prospek pekerjaan untuk bidang psikologi. Saya hanya berbekal rasa penasaran dan ketertarikan yang begitu besar pada bidang psikolog

Pada masa itu, saya masih sering menjumpai orang-orang yang mengartikan dunia psikologi berhubungan dengan dunia Rumah Sakit Jiwa dan segala penyakit kejiwaan lainnya. Anggapan yang tidak begitu salah karena sejarah ilmu psikologi memang berawal dari ranah psikologi klinis. Setelah masuk ke dunia perkuliahan, barulah saya sadar bahwa cakupan ilmu psikologi itu sangat luas. Saking luasnya, bisa dikatakan "selagi masih ada manusia, maka ilmu psikologi akan tetap berkembang". ilmu psikologi sendiri yang saya pelajari dibagi menjadi beberapa basic, seperti psikologi pendidikan, psikologi klinis, psikologi industri dan organisasi, psikologi perkembangan, dan psikologi sosial.Saya sendiri ketika masih kuliah sebenarnya lebih berkonsentrasi pada materi psikologi klinis. Tapi nasib belum memihak, sejak lulus hingga saat ini saya belum ada pekerjaan tetap yang menghampiri. Hmmm dunia itu keras!!. Dalam dunia kerja posisi sarjana psikologi dalam sebuah perusahaan berada di bagian Human Resources Development (HRD). Nah, menariknya, tidak semua posisi Human Resources terpaku pada latar belakang ilmu psikologi. Barangkali jika syaratnya adalah ilmu manajemen atau pun ilmu hukum memang masih berada dalam ranah pengembangan sumber daya manusia. Tapi beberapa perusahaan, ada yang membuka posisi Human Resources dengan persyaratan sarjana teknik informatika dan teknik sipil. Kalau begitu, apa spesialnya seorang sarjana psikologi?

Seperti yang telah saya katakan di awal tulisan ini, ilmu psikologi itu cakupannya sangatlah luas. Sehingga tidak menutup kemungkinan ia bersinggungan, bahkan bergabung dengan disiplin ilmu yang lain. Apalagi ditambah dengan menjamurnya buku-buku psikologi populer yang umumnya menjadi best seller di toko buku besar. Untuk profesi-profesi yang kelihatannya "dekat" dengan ilmu psikologi, seperti motivator, trainer, ataupun konselor, toh banyak diisi oleh orang yang tidak bergelar sarjana psikologi, Yaa nggak?? Beberapa teman saya sempat berucap walapun dengan nada bercanda bahwa para motivator atau para trainer itu telah "memakan" lahannya orang psikologi, Hahaha maklum sarjana muda waktu itu.. Bagi saya, kenyataan seperti itu sebenarnya adalah tantangan nyata bagi para sarjana psikologi yaa agar lebih meningkatkan kompetensinya dari ilmu yang didapat..hehe.

Seorang sarjana psikologi idealnya mengetahui hukum-hukum dasar dalam pola perilaku manusia, baik di dunia pendidikan, klinis, atau pun dunia industri. Penguasaan alat tes adalah salah satu kompetensi penting bagi sarjana psikologi. Sebenarnya alat tes hanyalah media untuk melakukan penilaian terhadap kondisi psikologis seseorang, baik sisi kecerdasan atau sisi kepribadian. Psikotes menjadi semacam salah satu sumber untuk melakukan penilaian. Selain itu, sarjana psikologi harus mampu menjadi seorang pengamat perilaku yang the best sekaligus bisa menjadi pendengar yang aktif, ramah, dan baik pastinya hehehe.. Menjadi pendengar itu bukan hal yang mudah, karena kita harus bisa fokus terhadap apa yang dikatakan oleh orang lain, sekaligus bisa memberikan tanggapan yang tepat terhadap apa yang telah ia katakan.

Kode etik psikologi sendiri memang telah mengatur masalah pengetesan psikologi (psikotes) yang hanya boleh dilakukan oleh kalangan dari dunia psikologi. Namun untuk penilaian sikap yang lain, seperti wawancara misalnya, bisa saja dilakukan oleh orang yang tidak memiliki dasar ilmu psikologi. Berdasarkan yang saya tahu, terlihat perbedaan cara melakukan wawancara antara seorang sarjana psikologi dengan yang bukan sarjana psikologi. Pewawancara yang bukan sarjana psikologi, cenderung mendominasi sesi wawancara dan hanya memberikan sedikit kesempatan bagi pelamar untuk menggambarkan dirinya. Padahal wawancara adalah satu media untuk menilai dan membiarkan pelamar kerja terbuka terhadap kondisi dirinya. Maka dari itu, dalam wawancara, pewawancara bicara lebih sedikit daripada yang diwawancarai.
 
Daripada teman-teman sarjana psikologi berkeluh kesah karena merasa bidangnya diisi oleh orang-orang non psikologi (bidang Human Resources, motivator, atau trainer), lebih baik kembangkan terus ilmu psikologi dalam diri anda. Bagaimanapun juga, saya yakin kita para sarjana psikologi tetap memiliki ruh dan DNA psikologi yang tidak dimiliki oleh orang-orang dari luar bidang psikologi. Hanya masalahnya, bagaimana cara kita menjaga agar ruh tersebut tetap hidup atau membiarkannya diam tak beranjak tak berkembang?? hehehe..
 
 
...WE'RE YOUNG, DANGEROUS DAN NEVER BACK DOWN...
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan masukan pada postingan ini lewat komentar yang membangun. Terima Kasih.